
Kalau lagi jalan-jalan saya dan Matt paling seneng ngecek toko-toko oleh-oleh untuk lihat-lihat kartu pos apa aja yang mereka punya. Terkadang kita jadi punya ide untuk nyari tempat yang sama persis seperti di kartu pos. Judulnya nyontek ide foto dan jalan-jalan haha.
Kartu pos jaman sekarang pun bentuknya lucu-lucu. Bukan sekedar kartu dengan gambar pemandangan lagi. Kadang-kadang harga kartu pos yang menggemaskan dan bikin jatuh cinta sering gak masuk akal. 10-15 dollar untuk kartu pos haha. Makanya kalau dikasih oleh-oleh kartu pos atau magnet kulkas gak boleh disepelekan juga hihii.
Kali ini saya kembali ke Sa Pa. Cerita pertama kali ke Sa Pa Vietnam bisa dibaca di sini ya.
Sa Pa Vietnam berhasil mencuri hati saya tahun 2010 lalu. Kota kecil di Vietnam Utara ini seperti negeri dongeng untuk saya. Kecil, sederhana, orang-orangnya ramah, makanan enak dan murah lalu yang terpenting cuaca di sini enak banget. Sejuk karena di bawah kaki gunung Phan-Xi-Pǎng (Fansipan, 3143 m) dan merupakan gunung tertinggi di Vietnam.
Akhir Maret 2018 kemaren saya dan Matt memutuskan ke Sa Pa untuk liburan wedding anniversary. Saya masih memikirkan kalau Sa Pa akan terlihat seperti beberapa tahun lalu ketika saya berkunjung pertama kalinya, ternyata salah dong haha.

Sa Pa yang sekarang adalah kota berdebu yang sibuk membangun hotel, restoran, cafe dan mungkin pusat perbelanjaan. Jalanan dipenuhi debu yang membuat sesak nafas. Hari pertama tiba, Matt langsung flu dan demam terpapar debu jalanan dan bangunan yang sedang dibangun. Kabel listrik masih ruwet bersaing dengan merpati yang hinggap di tiang-tiang listrik. Pasar kecil yang dulu terlihat nyaman pun sudah berganti posisi persis di pusat keramaian. Satu lagi pasar besar dibangun sedikit jauh dari alun-alun. Bangunan modren di mana kita bisa membeli sayur, buah dan oleh-oleh. SEmentara untuk kerajinan tangan suku H’mong ditempatkan di pasar khusus sehingga memudahkan turis untuk berbelanja
Sebenarnya pembangunan ini memang agak-agak bikin dilema ya. Di satu sisi karena banyaknya wisatawan yang datang tentu saja kota harus membangun lebih banyak penginapan, rumah makan, tempat belanja, dll. Di sisi yang lain, kota jadi kehilangan wajah aslinya. Bangunan besar, tinggi, dan mirip kotak sabun sekarang bisa dilihat di mana-mana. Dulu sejauh mata memandang hanya ada sawah bertingkat-tingkat. Sekarang di tengah sawah ada hotel hehe.

Mungkin karena pernah datang, jatuh cinta sehingga ketika berkunjung kembali lalu hampir seluruh kenangan saya tentang kota Sa Pa langsung dipatahkan oleh kenyataan yang ada haha. Saya beneran kayak orang lagi patah hati. Ini kejadian juga sewaktu berkunjung ke Takengon Aceh beberapa waktu lalu. Saya datang dengan kenangan 20 tahun sebelumnya. Begitu ngeliat kenyataan langsung patah hati sejadi-jadinya. Padahal orang yang berkunjung pertama kalinya sih biasa aja. Saya aja yang lebay.
Untuk Matt karena ini pertama kalinya dia ke Sa Pa, menurut dia kotanya menyenangkan sekali walaupun berdebu. Kami sempet ngobrol-ngobrol dengan front desk hotel, menurut dia pembangunan ini (debu) bakalan kelar kalau semua bangunan udah selesai. Jadi mungkin sekitar 3-4 tahun lagi lah. Hah….lama amat haha.

Terlepas dari debu dan pembangunan yang gila-gilaan di Sa Sapa, sebenarnya saya masih tetep suka dengan kota kecil ini. Sering kali di pagi hari setelah sarapan kami jalan-jalan ke pasar atau ke tengah kota untuk minum kopi lalu di tengah jalan bisa mencium bau kopi dari toko kecil yang sedang menggiling biji kopi. Pastry enak dengan harga lebih murah daripada di Medan. Terkadang walau berdebu tapi saya bisa melihat penduduk lokal dengan pakaian traditionalnya hilir mudik sambil bersenda gurau. Pemandangan yang gak bakalan saya lihat setiap hari, kan. Bahkan pas nulis ini saya baru WA Matt “Kamu rindu gak ke Sa Pa?” karena yah, ternyata saya masih menyimpan rindu sama seperti sebelumnya.

Lalu tentu saja kita berdua selalu dapat kopi dan makanan enak di sini. Mulai dari pho sampai pizza. Gak tau kenapa ya, setiap kali ke kota-kota yang emang tempat tujuan wisata banyak makanan enak yang pas dengan lidah. Kali ini saya jarang liat warga lokal yang malam-malam duduk di trotoar dagang rice wine. Beberapa tahun lalu selalu liat tapi kemaren hampir gak keliatan. Jadilah kita sempet nyoba di beberapa cafe yang juga bikin rice wine sendiri. Enak 🙂



Jadi mungkin kalau ditanya apakah masih mau kembali ke Sa Pa, emm sudah pasti saya masih mau tapi kalau bisa pas sudah gak berdebu lagi.
ya ampun mba aku sekali aja belum ke Sa Pa dirimu udah berulang kali hahaha aku ke sana tunggu gak berdebu aja deh 🤗
Ayoklah kita ke sini
Tapi kalau semakin terkenal dan turisnya semakin banyak, jangan-jangan nanti ada pembangunan fase selanjutnya sehingga 3-4 tahun itu jadi mundur lagi ya Non? Hahahaha 😛 .
nah, aku juga mikirnya begitu. Yang namanya negara berkembangkan dibilang menuju maju harus ada pembangunan setiap tahunnya.
Gak kelar2 ya Zi, kayak gitu aja trus
Wah, aku tiba-tiba laper ngelihat foto pizza di atas. Looks so yummy! 😀
Emang enakkkk
Betul mbak, pembangunan tuh mmg dilematis ya 😄. Berarti ke sana lagi 4 thn lagi ya mbak, itu pun klo udah kelar pembangunannya 😄. Btw, saya jg suka sama kota kecil mbak, makanya seneng bgt tiap ke sibolga krn kotanya msh tenang banget, klo ke sana rasanya rileekkss banget
Sibolga enak sih ya, cuma kalah karena panas aja haha. aku lebih suka Danau Toba atau Tuktuk kalau di sumut
Mbak noni keren ya mengunjungi tempat yang seringnya aku tahu dan dengar pertama kali ya dari blognya mbak noni ini 😀
Iya ini kurang terkenal sama turis Indonesia kayaknya si Sa Pa